16 Juli 2011

Bagaimana Cara Menala Kawat-kawat Ground Radial dan Antena TX Vertikal 160m?

Dalam beberapa hari belakangan ini, saya berkorespondensi secara intensif dengan Sdr Guntur melalui blog saya.

Lihat kolom “Komentar” pada http://topbanddxdiindonesia.blogspot.com/2008/12/ground-radial-oleh-ridwan-lesmana-yc0pe.html


Beliau mengaku sebagai seorang teknisi BC AM dan tertarik dengan konsep desain antena kawat vertikal TX 160m yang saya gunakan. Apalagi kawat ground radials yang saya gunakan adalah yang berukuran pendek dan diberi coil seperti saya praktekkan berdasar rekomendasi OM Ridwan Lesmana, YC0PE (21/12/2008).


Atas pertanyaan beliau tentang “bagaimana menala ground radial dan antena TX vertikal”, saya coba memberi penjelasan dalam kolom "Komentar" dalam edisi tsb, namun inilah uraian yang lebih rinci dari saya. 

Maaf, saya tidak bermaksud menggurui. Ini hanya sesuatu pengalaman praktek yang bisa saya bagi untuk beliau dan pembaca lainnya.  
Saya sendiri mendapatkan petunjuk ini dari Kenny, K2KW dan Bjorn, SM0MDG melalui internet.
Agar diskusi ini dapat diikuti, saya deskripsikan dulu antena Top-loaded vertikal TX 160m pada stasiun YC0LOW

a.      * Tinggi tiang fiberglass, telescopic: 18m
b.      *Kawat tembaga enamelled, diameter 2,5 mm sebagai radiator
c.       *3 buah kawat tembaga, enamelled,  diameter 2,5mm, panjang @15m, sloping (miring) sekitar 45 derajat terhadap kawat vertikal
 *Alat pengukur yang digunakan adalah analyser MFJ-259B. 

Caranya:
1.Sambungkan langsung kawat antena (vertikal dan radial) masing-masing ke port antena pada MFJ-259B tanpa hairpin/coil untuk mengukur besaran nilai impedansi pada feedpoint. Lakukan penalaan kawat radial satu per satu. Butuh kesabaran.

2. Periksa frekwensi resonan dan nilai impedansi pada feedpoint. Bila impedansi lebih besar dari 35 Ohms (tanpa memperdulikan frekwensi resonan –namun masih dalam kisaran +/- 500 kHz dari target frekwensi) artinya coupling terhadap tanah masih terlalu banyak

3. Untuk memperkecil efek coupling itu, naikkan ketinggian kawat radials atau pangkaslah. Langkah ini juga akan merendahkan nilai impedansi pada feedpoint (yang menjadi sasaran utama kita). Untuk sementara, abaikan dulu ketepatan frekwensi resonansi, misal, masih jatuh pada 2000kHz.

Catatan #1: Sebuah antena vertikal berukuran pendek akan punya nilai rata-rata impedansi di sekitar 10-30 Ohms. Makin rendah nilai impedansinya maka itu merupakan petunjuk peningkatan efisiensi antena. Impedansi yang sangat rendah berarti amat efisien.

4. Ketika impedansi antara kawat radial dan vertikal sudah rendah, atur posisi kawat sloping sehingga  membuat kawat vertikal mendekati resonansi (+/- 100-200 kHz  mungkin sudah cukup). Ketepatan pada frekuensi sasaran dapat juga dilakukan dengan memotong/memanjangkan radiator vertikalnya sedikit demi sedikit

5.Kemudian, pasang hairpin pada feedpoint. Rapatkan dan/atau renggangkan koil tsb untuk mendapat nilai SWR  1:1, (atau mendekati) dan impedansi seharusnya akan nyaris 50 Ohm. 



Kumparan kawat hairpin buatan YC0LOW
Catatan #2: Bila Anda sudah merapatkan koil namun belum memperoleh nilai SWR 1:1, maka artinya Anda perlu diameter koil yang lebih besar. Apabila Anda sudah merenggangkan koil tapi belum juga mendapatkan rasio 1:1, maka itu artinya terlalu banyak induktansi. Potonglah satu atau dua lilitan koil

6.Bila sudah mendapatkan SWR 1:1, maka,

7. Lakukan pemangkasan pendek (trim) terhadap ketiga kawat sloping agar mendapat resonansi pada frekwensi yang tepat.

8. Ketika menala antena vertikal dengan kawat elevated radials, Anda “dapat” menyesuaikan kawat radial, vertikal dan sloping secara sekaligus karena ketiganya hanya akan menambahkan resonansi antena. Namun, menurut pengalaman saya,  menala sistem tsb dengan merubah panjang kawat sloping biasanya menjadi cara yang termudah.

9.Koil/hairpin adalah step-up transformer. Bila nilai impedansi sudah lebih tinggi dari pada 50 Ohms, penambahan koil/hairpin  hanya akan membuat nilai impedansi antena menjadi lebih buruk dan Anda dijamin takkan mendapat SWR 1:1

10. Jangan lupa untuk mematikan MFJ-259B Anda usai pengukuran sistem. Alat tsb amat peka terhadap energi RF.

Catatan #3: Dengan antena TX vertikal ini, sinyal YC0LOW pada 160m, beberapa kali (2009, 2010) pernah berpenetrasi sampai jauh (>14.000km) ke kawasan pantai timur AS walau hanya berdaya 100 Watts! 



Selamat mencoba!

7 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal pak Jo.
saya tertarik atas artikel anda ini. kalau tidak keberatan ada beberapa hal yang akan saya tanyakan.

1. saya akan membuat antena vertikal pada 80 m, dengan panjang (tinggi) radiator hanya 10 meter.
berapa lilitan coilnya ( saya merencanakan teleskopic sekitar 1 meter untuk tuningnya. sebaiknya loading coilnya ditaruh dimana ?.
sekaligus juga radialnya pak.

2. mungkin saya yang kurang menguasai peralatan, apa maksudnya dan membacanya seperti anda sebutkan 1:1 , karena pada SWR meter saya yang ada dua jarum nya, sebelah kiri forward, dan sebelah kanan reflected, jadi pemahaman saya kalau terbaca forward nya 150w, dan reflectednya 1, saya anggap sudah baik, tapi saya tidak mengerti berapa saya harus sebutkan SWR nya tersebut.
saya biasanya menyebutkan antenna saya match pada 3,800 dengan SWR 1.2 , dan saya disalahkan cara penyebutan tsb, maaf pak jo, setahu saya yang dikatakan ratio adalah suatu angka satuan, bukan perbandingan.

atas penjelasan anda, terima kasih pak Jo.

salam, Adi Is

Jo, YC0LOW, pemegang award DXCC dari ARRL pada 5 band mengatakan...

Yth OM Adi Is,

Salam kenal juga. Tnx sudah mampir ke blog saya ini.

Antena TX vertikal yang Anda rencanakan dibuat untuk band 80m itu tergolong sangat pendek kawat radiatornya. Hanya 10m atau 1/8 lambda!

Pasti Anda kerepotan membuatnya dan belum tentu kinerjanya sesuai dengan harapan Anda 259B.

Namun, kalau mau dicoba, silakan saja. Ada banyak petunjuk pada

http://www.w0ql.com/vertical.html

Saya menuliskan angka-angka tentang SWR dari readout sebuah Antena Analyser MFJ 259B. Mungkin ada berbeda dengan indikator pada sebuah SWR meter.

Definisi istilah "ratio" selalu mengacu kepada perbandingan terhadap satu bilangan tertentu. Dalam penyebutan nilai SWR, misalnya, selalu disebut/ditulis sebagai 1:1.2

Tnx es 73 de Jo, YC0LOW

Anonim mengatakan...

Pak Adi, pak Jo,

SWR kan ceritanya "Standing Wave Ratio", perbandingan antara gelombang berdiri (yang tertinggi dan terendah) yang ada di sepanjang transmission line. Sehingga, sudah menjadi aturan, SWR selalu di tampilkan sebagai rasio (mungkin bahasa pasarnya SWR 1 itu sebenarnya adalah 1:1, SWR 2 adalah 2:1, dst).

Kalo gambaran fisiknya agak lebih komplex. Mungkin bisa dilihat di wikipedia atau di sini: http://www.fourier-series.com/rf-concepts/reflection.html.

- Ketut, KC8PPD

Jo, YC0LOW, pemegang award DXCC dari ARRL pada 5 band mengatakan...

Matur suksma Bli Ketut,
Saya setuju 101% dengan Anda. Memang ada beberapa teman yang bukan teknisi - seperti juga saya - membuat kesalahan persepsi (hanya) di awal.
Dengan belajar terus dari orang lain -seperti Bli- , maka kami bisa lebih nikmati hobi dahsyat ini
73 de Jo, YC0LOW

Anonim mengatakan...

Wah, pak Jo ini lho. Saya kan cuman hobby baca saja. Kalo praktek kan saya jauh lebih kurang dari notabene gembong 160m.

Saya jadi tergelitik untuk ngobrol sambil menumpahkan uneg-uneg tentang SWR. Pertanyaannya, apakah SWR patut dimusuhi? Kalo saya pribadi berpendapat belum tentu. Na, cuman ini pendapat pribadi aja, bukan fakta sains, dan berarti mungkin saya akan salah.

Ceritanya, dalam sepanjang transmission line ini, ada impedansi (kita hams biasa berteman dengan 50 ohm transmission line). Output dari rig adalah 50 ohm, transmission line 50 ohm, lalu antenna juga 50 ohm. Biar ringkasnya, kan antenna juga sebenernya transmission line. Jadi kita satukan aja deh, transmission line sama antenna kita jadikan "load".

Dalam kelas basic electric circuit jaman baheula, diajarin, kalau ada sumber listrik, memiliki internal resistance A ohm, power transfer (pemindahan daya) yang paling effisien terjadi jika bebannya (kita namakan B) sama dengan A (A=B).

Contoh, baterai aki 12 Volt, internal resistance 50 ohm (misalnya, lho, kalo beneran gitu, ini aki di loak aja) kita sambungkan ke beban resistor 50 ohm. Jadi total arus I = V/R = 12V / (50 + 50) ohm = 0.12 Ampere. Daya yg dipancarkan di resistor adalah P = I^2*R = (0.12^2)*50 = 0.72 Watt. (^ artinya pangkat).

Nah, misalnya di kasus lain, kita ngga bisa nge-match bebannya, kita cuman punya resistor 100 ohm aja, apa akibatnya? Akibatnya adalah, kita tidak bisa mengoptimalkan power transfer. Kembali lagi: I = V/R = 12V / (50 + 100) ohm = 0.08 Ampere. Daya yg dipancarkan di beban = P = I^2*R = (0.08^2)*100 ohm = 0.64 Watt.

Dengan contoh di atas, bisa kita buatkan gambaran lebih luas lagi denga harga-harga resistor lain, dan grafiknya akan menunjukan bahwa power transfer terbesar adalah jika A = B. Boleh dicoba juga dengan resistor yg lebih kecil dari 50 ohm, sebagai percobaan (mis. 25 ohm akan menghasilkan daya pancar 0.64 Watt).

Dalam dunia amatir radio, tujuan kita adalah untuk mengoptimalkan jumlah daya yang dipancarkan di antenna. Jadi kita memiliki tujuan untuk mencocokan resistansi load dengan pemancar. Salah satu tanda adanya kecocokan antara beban dan sumber, adalah SWR=1:1. Jadi SWR ini cuman salah satu alat ukur pembantu. Karena SWR erat hubungannya dengan impedansi transmission line (dan juga antenna, karena antenna pun bisa dianggap transmission line).

Na, jadi kira2 inilah hubungan antara SWR, standing wave ratio, dengan keinginan kita sebagai amatir radio. Dari sini terlihat kenapa rasio gelombang berdiri dijadikan tolok ukur optimalisasi sistem pemancar radio kita.

OK sekian saja dulu obrolannya, tidak kedengaran menggurui karena saya hanya ingin berbagi uneg-uneg saja.

Selamat bereksperimen.

Ketut, KC8PPD

Adi Is mengatakan...

trims atas jawabannya pak.

mungkin saya yang salah faham atas tulisan anda pak jo, tapi saya teliti lagi tinggi teleskopik anda 18 m pada 160m, jadi sekitar 0,1 lambda lah.
nah asumsi saya karena saya ingin coba pada 80 m, jadi saya anggap 0,1 lambda juga, saya targetkan saja 10 m, begitu pak Jo.

kembali ke angka SWR, saya belum pernah punya alat itu (dan mustahil), tapi saya sudah lihat di websitenya, MFJ 259 yang saya pandangi fotonya, hanya kelihatan di lcd nya :
freq 7.166
R(z) 050
SWR 2.1

sedangkan Aerial Analyzer dari VK3JST ( yang saya mencoba menirunya, tapi gagal karena tegangan osc pada 1 mhz tidak sama dengan di 30 mhz, alc nya tidak bekerja barangkali, karena komponen nya yang tidak sama)

pada fotonya saya baca terdapat :

freq 2.31
R 050
X 000
SWR =1.

sedangkan manual dari swr butut saya ada hitunganya kurang lebih (maaf lupa pak JO), : akar anu1 kuadrat tambah anu2 kuadrat dibagi anu1+anu2, dan hasilnya satu bilangan saja, mungkin 1.2, tanpa ada pembanding nya.

beberapa puluh tahun lalu saya pernah belajar tx (saja) pada pak Lumenta dan pak Sutikno Buhari ( orari belum lahir), dan pada saat itu swr belum dikenal, atau barangkali juga belum ada ?.

ok, pak jo, sekedar memperbaiki pemahaman saya yang kurang benar barangkali, mohon koreksi anda.

nah teman sering bilang 1 banding 1,2 , yang saya tanyakan angka 1 di awal itu sebagai apa ?, dan apa begitu hasilnya ?

salam, Adi Is , Jakarta Timur

Jo, YC0LOW, pemegang award DXCC dari ARRL pada 5 band mengatakan...

Yth OM Adi Is,
SWR meter memang menjadi populer setelah ada standarisasi impedansi pada fabricated transceiver dan/atau coax. Mungkin, pada jaman sebelumnya, tidak dikenal - atau bahkan tidak perlu masih 'blue ocean'.

Ttg ukuran panjang antena tx vertikal 80m Anda, saya setuju dan yakin bisa Anda buat walaupun agak repot. Persis seperti kerepotan saya saat membuat antena tx 160m - mohon maklum saya bukan seorang teknisi. Saya menyesal, saat di SMA kebanyakan pacaran, bukan jadi kutu buku untuk bisa mengerti teknik radio :-)

Tentang cara penulisan dan cara penyebutan nilai SWR, saya kira kita sudah temukan substansi masalahnya melalui uraian Bli Ketut, KC8PPD, dan/atau link yang ditulisnya.

Salam dari Cinere.